irfandisme
Psychological world of Irfandi
Selasa, 05 September 2017
Rabu, 23 Agustus 2017
Kamis, 10 Agustus 2017
A Tale of Two Wolves
There is an old Cherokee story, that of the white and black wolf, that has become popular in the white world, but is only half told.
In it, the grandfather is talking to his grandson about how inside of each of us lives a white wolf and a black wolf. The white wolf is all that is good about us, and the black wolf is all that is bad. The white wolf thrives on justice and peace and the black wolf thrives on anger, fear and hatred.
What the white world has adopted of this tale is this:
An old Cherokee is teaching his grandson about life. "A fight is going on inside me," he said to the boy. "It is a terrible fight and it is between two wolves. One is evil - he is anger, envy, sorrow, regret, greed, arrogance, self-pity, guilt, resentment, inferiority, lies, false pride, superiority, and ego." He continued, "The other is good - he is joy, peace, love, hope, serenity, humility, kindness, benevolence, empathy, generosity, truth, compassion, and faith. The same fight is going on inside you - and inside every other person, too."
The grandson thought about it for a minute and then asked his grandfather, "Which wolf will win?"
In the white world, the story ends like this:
The old Cherokee simply replied, "The one you feed."
The old Cherokee simply replied, "They both win."
and the story goes on,
"You see, if I only choose to feed the white wolf, the black one will be hiding around every corner waiting for me to become distracted or weak and jump to get the attention he craves. He will always be angry and always fighting the white wolf.
But if I acknowledge him, he is happy and the white wolf is happy and we all win. For the black wolf has many qualities - tenacity, courage, fearlessness, strong-willed and great strategic thinking - that I have need of at times and that the white wolf lacks. But the white wolf has compassion, caring, strength and the ability to recognize what is in the best interest of all. You see son, the white wolf needs the black wolf at his side. To feed only one would starve the other and they will become uncontrollable. To feed and care for both means they will serve you well and do nothing that is not a part of something greater, something good, something of life. Feed them both and there will be no more internal struggle for your attention. And when there is no battle inside, you can listen to the voices of deeper knowing that will guide you in choosing what is right in every circumstance.
Peace, my son, is the Cherokee mission in life. A man who has peace inside has everything. A man who is pulled apart by the war inside him has nothing. How you choose to interact with the opposing forces within you will determine your life. Starve one or the other or guide them both."
Senin, 19 Juni 2017
You Are What You Read
Got an idea?
Buku tak lebih merupakan media baca.
Ada buku, ada e-book, ada kitab, ada papan baca, ada koran, bahkan laman media sosial (yang sedang kalian baca sekarang ini) juga bisa dikatakan 'media baca.'
Setuju?
Tentu masing-masing memiliki keunggulan, fungsi, dan tujuan yang masing-masing.
Buku sendiri sangat penting sebagai knowledge enrichment. Selain interaksi langsung dengan buku lebih menarik, buku juga memiliki daftar & referensi author yang lebih jelas.
Sayangnya,
This is pathetic as many books are not meant to be as what they're supposed to be.
Buku hanya dijadikan sebuah alat propaganda dan penguatan opini.
George Carlin :
"Do not just teach your children to read. Teach them to question what they read. Teach them to question everything."
Berbicara tentang "membaca" sering dikaitkan dengan kata "iqra."
Apa itu iqra?
Apakah iqra yang dimaksud itu cukup dimaknai membaca lewat 'ain (mata)?
Ternyata tidak, karena banyak juga yang mendapat ilmu lewat suara..
Anak bahasa tentunya faham.
Dalam ilmu kebahasaan, Phonetic, dikenal juga adanya Bow-Wow-Theory.
Teori asal bunyi / suara.
Di Jepang sangat kental istilah "Onomatopoeia"
Tercermin pada salah satu anime, One Piece. Hampir keseluruhan nama Logia merupakan onomatopoeia. E.g. pica-pica bunyi cahaya, hie-hie bunyi es, dll.
Di Indonesia (seharusnya) juga ada beberapa suara seperti "debur, desir, decit, desis, desing, dering, dengung, derap, deru, dentum, detak, denting, dlsb."
Kemudian tersebar ke beberapa bunyi seperti "Dor, Sst, Cess, Pyur, Duar, Sret, Cit, Dagdigdug, Berrr, Cling, Slep, Cetar, Byar, Tes, Cleng, Currr, Huff, Glebet, Srek, Blup, Blem, Psst, Bek, Bul, Kretek, Cetak, Tok, Tik, Dum, Creng, dlsb."
It's bad news that KBBI isn't that helpful in containing all those Onomatopoeia. Looking up Oxford Dictionary we'll find out that "Kaboom (Duar)" means loud sound of an explosion..
Nah, ini tugas (bisnis) bagi orang-orang bahasa untuk menyempurnakan KBBI.
Indonesians also prefer seeing & commenting to listening..
Contohnya apa?
Bunyi air "Kecipak" -> Kecopak -> Kecehan.
Lebih sering digunakan ketika /melihat/ seseorang bermain air, lalu /komentar/ "jangan kecopakan."
See? No listening.. only hearing.. talking.. then commenting..
Padahal Kecipak menurut KBBI adalah bunyi (noun), namun pada penerapannya berubah menjadi Kata Kerja.
Begitu pula bunyi "Cetar" yang sering dipakai sebagai pujian, bahkan terhadap sesuatu yang berbunyi-pun tidak.
Mungkin ada anggapan bunyi & suara itu bukanlah ilmu.. bunyi ya sekedar bunyi.. suara ya sekedar suara.. tanpa ada ilmu di dalamnya..
Lalu bagaimana dengan ceramah & khotbah?
Lagu-lagu religi, Audiobooks, MP3 Ayat-ayat suci.
Iya, suara / frekuensi juga merupakan 'media baca' yang cukup efektif bagi telinga.
Kenapa efektif?
Menurut Nara Shikamaru sewaktu berhadapan dengan Tayuya dari desa Bunyi:
"Indra yang paling sulit dibendung responnya (tanpa alat bantu & tangan) ialah telinga."
Iya, mata tinggal menutup.
Iya, hidung tinggal menahan nafas.
Iya, 2 lainnya tinggal mengalih persepsi.
Iya, itu dari anime & manga.
Artinya apa?
Bahwa layar kaca, layar desktop, layar smartphone; film, anime, video youtube, everything you watch basically is a reading book.
Bagi yang pernah membaca manga / anime berjudul "Bakuman" mungkin masih ingat adegan si wanita novelist mencemooh Manga sebagai karya sastra non-educational.
Faktanya tidak sepenuhnya demikian, anime seringkali merupakan adaptasi dari manga, mangapun beberapa merupakan adaptasi dari novel, ketiganya seringkali terinspirasi dari sejarah, fenomena, keadaan social-masyarakat, serta gagasan author / mangaka yang tertuang di dalamnya.
Fiksi tidak 100% Fiksi.
Non Fiksi tidak 100% Non Fiksi.
Plato & Aristoteles
"Mimesis"
Pada dasarnya segala sesuatu di dunia (idea) hanyalah imitasi, tiruan, cerminan.
Selain karena kesepakatan,
Kita mengatakan warna merah itu merah karena dari kecil kita diajarkan (meniru) orang-orang menyebut warna itu adalah warna merah.
Kita bisa mengucapkan huruf A-Z karena kita diajarkan (meniru) pengucapan huruf A-Z.
Lalu semua itu internalized.
Para inventors; Bentuk helikopter, bentuk roda, and so on..
Artists, Penyair, Pengarang lagu, Penulis, Novelist, dan Pelaku-pelaku karya sastra lainnya juga meniru, mungkin bukan imitasi sempurna, mungkin bukan meniru sepenuhnya, ada proses olah data tentang ingatan, inspirasi, dsb.
Tulisan ini sendiri bisa jadi pernah Penulis 'iqra' dari sumber lain jauh-jauh masa sebelumnya, bisa dari buku, bisa dari tulisan, bisa dari obrolan north-south (ngalor-ngidul), bisa juga dari hasil penalaran Penulis sendiri berdasarkan persepsi & pengamatan Penulis tentang semesta, atau yang biasa disebut 'Hidayah.'
The power of beyond.
A miracle from 'Kebenaran Hakiki.'
Kebenaran yang bukan imitasi.
Sebagai salah satu sumber ilmu, buku dan 'media baca lainnya' tentulah sangat baik.
Semakin banyak membaca, semakin banyak tahu.
Tak mengapa bila baru sedikit membaca sudah asal tahu daripada asal tahu sebelum membaca.
Artinya
Asumsi yang muncul seketika membaca judul itu lebih baik daripada Presumsi yang muncul lebih dahulu lalu mencari pembenaran & 'backingan' lewat bacaan.
That is not what's so called a discovery.
Ibarat Mahasiswa dalam mengerjakan skripsi asal comot referensi supaya cocok dengan hasil yang diinginkan. (Hasil yang entah darimana sudah ketemu & sudah benar duluan.)
Bahasa trendnya, Cocoklogy.
Tidak dipungkiri terdapat apa yang disebut oleh Penulis sebagai "Ambang Batas Kewarasan."
Apabila menemui judul bacaan :
"Tolong Sebarkan! Ternyata Bumi Memang Datar! Sesuai! Ayat Suci Memang Benar! OMG!"
Aspek-aspek keilmuan yang diakui dunia internasional ditabrak begitu saja oleh bualan para peraub untung share-like-embel-embel ini.
Mulai dari perhitungan waktu, pergantian musim, sampai bentuk globe pun digilas..
Boleh jadi mereka yang percaya flat earth theory belum pernah 'iqra' feature terkini perbandingan skala di google earth map, jadi bagi mereka negara Matahari luasnya seperti pulau Sumatera.
Mencengangkan mengetahui jumlah like & share untuk bacaan sejenis.
Begitu pula untuk website & group 'RASA-RASA.'
#Kesimpulan
Oleh sebab itu banyak-banyaklah 'iqra.'
Membaca bukan selalu tentang buku.
Membaca hatiku saja kamu sering missed kok.
Minggu, 11 Juni 2017
Thinker vs Feeler. 2nd Episode
= Thinkers vs Feelers, episode 2 =
.
Kamu punya uang Rp.20.000.
ingin membeli 2 jenis makanan.
makanan dengan bentuk, jumlah per-kg, dan harga yang serupa.
Misal : Tempe Keripik & Rempeyek.
.
Bila kamu membagi 1/4 + 3/4 :
"Beli tempe keripik Rp.5.000 & rempeyek Rp.15.000"
.
Penjual akan menakar besaran yang kecil terlebih dulu, yaitu keripik Rp.5000.
(Kecenderungan manusia menghabiskan / mengorbankan yang minor atau inferior terlebih dahulu. Bite what you can chew. Seperti bermain bidak catur, lebih baik Pion dikorbankan lebih dahulu. Accomplishment seolah lebih mudah & cepat tergapai. Sejengkal demi sejengkal menjadi sehasta.)
Penjual kemudian menakar besaran kedua, dengan disesuaikan dengan variabel pertama.
(Kecenderungan manusia menjadikan yang pertama sebagai patokan/standar penilaian. Jadi jangan heran sehebat apapun peserta pertama dalam kontes, cenderung mendapat nilai standar. Jadi jangan heran banyak pemilik akun warisan yang menjadikan akun pertamanya sebagai patokan kebenaran universal.)
Usai menakar kedua makanan, penjual cenderung menakar ulang / mengurangi takaran variabel yang lebih besar setelah melihat takaran yang lebih kecil.
(Kecenderungan manusia, eh, bukan ding. Prinsip ekonomi : pengeluaran sekecilnya, pendapatan sebesarnya. Apalagi didukung oleh kesempatan opportunity yang ada, yaitu patokan / standar pertama tadi. Penjualpun akan cenderung lebih memperhatikan faktor untung-rugi. Tidak heran apabila lupa jumlah rakaat ketika sholat maka dianjurkan untuk dilebihkan. Tidak heran apabila lupa jumlah gorengan yang dimakan di warung, dianjurkan untuk membayar lebih untuk jumlahnya.)
Usai mengurangi takaran yang lebih besar, kemudian penjual entah didorong oleh rasa malu atau rasa takut atau rasa aneh mengganti patokan / standar besar ke kecil tadi menjadi kecil ke besar. Artinya takaran kecil disesuaikan prosentasenya dengan takaran besar. Dikurangilah takaran tempe keripik 5ribu agar = 1/3 rempeyek 15ribu yang sebelumnya telah dikurangi tadi.
(Kecenderungan berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Denial. Kecenderungan manusia merekayasa aturan guna menutupi kekurangan, kesalahan, dosa. You know what? There is a saying "most of Inventions & Innovations were born to earth due to human needs and lackness." "Lebih baik terlambat daripada bolos" bolos = tidak baik, terlambat = tidak baik, dan ajaibnya kata-kata mutiara ini justru muncul pasca terjadi keterlambatan.)
.
.
Namun apabila kamu membagi 1/2 + 1/2 :
"Beli Tempe keripik Rp.10.000 + Rempeyek Rp.10.000."
Pattern kecenderungan penjual boleh jadi berbeda, atau paling tidak kedua takaran makanan tadi sekilas tampak sama.
.
.
Terkait dengan judul.
= Thinkers vs Feelers, episode 2 =
Penggunaan, perubahan, pemakaian kata dan kalimat bukan hanya mampu mengubah arti pemaknaan, namun juga mampu mengubah keseluruhan pola fikir & pattern kecenderungan seseorang.
.
Thinkers memang berpicu pada logika. Logic.
Namun logika 1/4 tempe keripik + 3/4 rempeyek bisa jadi tidak sama timbangannya dengan 1/2 tempe keripik + 1/2 rempeyek.
.
Memahami 1/4 + 3/4 = 1/2 + 1/2 = 1 itu merupakan logika umum matematis.
Seorang anak SD pun bisa apabila sudah faham rumusannya.
.
Memahami pattern-pattern, pola-pola fikir, dan faktor-faktor lain behind every action and occurence justru lebih menguatkan apakah seseorang itu thinker ataukah feeler.
.
Di lain sisi, kecenderungan seorang feeler seringnya tidak demikian. Yang lebih utama bagi mereka adalah persoalan rasa, hasrat, keinginan, enak tidak enak.
.
Berbicara tentang enak tidak enak, perhatikan saja jari telunjuk seseorang ketika sedang memilih menu di restaurant atau cafe.
Ada jari yang naik turun di area daftar nama.
Ada juga jari yang naik turun di sekitar harga.
.
Pada saat menyusun rencana berbuka puasa bersama atau reuni sekolah.
Ada yang mengusulkan menu & lokasi.
Ungkapan "mempertimbangkan rasa" adalah tipuan otak belaka. Rasa adalah keinginan. Patokan & Pertimbangan tiap individu berbeda karena nilai Rasa memang subjective. Maka diperlukan tolak ukur Logika berupa "Harga." Jadi yang sebenarnya dipertimbangkan adalah harga, uang, nominal, biaya, dan serumpunnya..
.
Kesimpulannya ialah tadi : Alat Tolak Ukur.
Timbangan. Sangatlah penting.
Alat pengukur satuan hitung, misalkan.
Kasus pembelian 2 jenis makanan di atas merupakan pengalaman & pengamatan Penulis. Di dekat rumah Penulis terdapat penjual makanan curah tanpa timbangan (sebelum dibawa ke pasar.) Memang lebih murah dan lebih banyak mengingat makanan belum dibungkus, belum dipacked. Namun tetap fenomena di atas telah menyita keingin tahuan Penulis untuk mengamatinya lebih dalam.
.
.
Dan begitulah uraian hasil pengamatan Penulis.
Selamat membaca.
Selamat menikmati karangan Penulis.
:)
Jumat, 21 April 2017
THINKER VS FEELER
Secara Psikologi,
Ada 2 kelompok manusia
Berdasarkan kecenderungan dominan mengolah data (proses bernalar.)
THINKER & FEELER
Thinkers menggunakan Fikiran (Logika)
Sedangkan,
Feelers menggunakan Perasaan (Emosi)
Thinkers berpatokan pada Logika
Feelers berpatokan pada Emosi
Artinya apa???
Logika menjunjung tinggi values of truth, nilai-nilai kebenaran, universal beliefs, dan facts atau fakta.
Di lain sisi, Emosi justru mengedepankan personal beliefs, asumsi, presumsi, rumor, opini, juga justifikasi.
Contohnya,
Kita boleh mengatakan
“Secara Logika, air bergerak menuju tempat yang lebih rendah disebabkan pengaruh gravitasi.”
Kita tidak bisa mengatakan
“Logikanya, dia itu seorang pendusta karena blablabla.”
“Berdasarkan Logika si Anu, si Una merupakan orang baik soalnya blablabla. ”
Sound extremely awkward, don’t they?
Persoalan yang kerap terjadi adalah
Para Feelers suka berlagak turut serta membahas Politik,
Padahal Politik sendiri memiliki arti “CARA upaya guna mencapai suatu tujuan.”
Politik berbicara tentang CARA dan Usaha.
Dan kata “CARA” selalu identik dengan langkah-langkah berbau Fikiran, BUKAN PERASAAN.
Misalkan :
Cara memasak sayur supaya enak. Tambahkan sedikit bumbu dapur. (BENAR!)
Cara memasak sayur supaya enak. Pemasak harus bahagia. ( ??? )
(Memasak pakai cinta??? Mirip Spongebob saja...)
Cara membuat diri sendiri / orang lain bersedih. (BENAR!)
Cara bersedih / Cara orang lain bersedih. (SEDIH YA SEDIH SAJA.. TIDAK PERLU CARA.)
Cara mempengaruhi orang lain; Sebar berita hoax, provokatif, bungkus dengan SARA. (BENAR!)
Cara mempengaruhi orang lain; Kita harus marah. (Sorry but This one just doesn’t make any sense)
Cara sembahyang agar Khusyu; Kita harus tenang. (Tenang yang dimaksud adalah SIKAP Tenang, bukan peRASAan Tenang)
Cara sembahyang Khusyu; Kita tenang. (Jujur saja, tidak sekonyong-konyong itu hati kita merasa tenang... [yang ada karena kita bersikap tenang saat sembahyang menyebabkan timbulnya perasaan tenang ‘lihat contoh sebelumnya’])
Oleh sebab itu it sounds silly ketika ada provokator yang mengatakan “KITA HARUS MARAH KETIKA ABCDE KITA DIHINA!.” That sounds silly karena marah ya marah saja, marah itu berhubungan dengan emosi / perasaan. Marah tidak bisa dipaksakan. Sedangkan marah secara sikap tidak ada atau aneh “KITA HARUS BERSIKAP MARAH (MENGERUTKAN JIDAT, MENGEPALKAN TELAPAK TANGAN, MENGGERAM, MENEGANGKAN OTOT) KETIKA ABCDE KITA DIHINA!” that is even weirder...
Di sinilah letak perbedaannya,
Feelers akan marah & mereka marah begitu saja. Feelers akan marah karena olah data (nalar) mereka lebih bergantung pada perasaan.
Di lain sisi,
Thinkers tidak begitu saja marah. Untuk marah, seorang Thinker membutuhkan cara-cara/ langkah-langkah/ faktor-faktor sebab akibat terlebih dahulu yang bisa difikirkan baru nantinya disimpulkan akan marah atau tidak. Proses olah data mereka para Thinkers adalah bergantung pada fikiran & bukti-bukti. Thinkers akan berfikir terlebih dulu apakah mereka harus marah atau tidak.
Sayangnya,
Akibat overhyping kalimat “Orang Cerdas itu memakai Fikiran”
Dalam banyak kasus para Feelers dengan egonya membohongi kepribadian mereka sendiri, Feelers membohongi cara mengolah data mereka sendiri. Akhirnya banyak Feelers yang mengaku / merasa dirinya itu Thinker.
Feelers boleh saja mengatakan “Saya sudah membaca banyak referensi berita kok, saya sudah cukup banyak mengenyam ilmu pengetahuan kok, saya sudah tahu banyak kok, saya yakin berdasarkan pengetahuan yang saya miliki kok.” PADAHAL, Persoalannya bukan BANYAKNYA KNOWLEDGE yang dipunyai, namun soal BAGAIMANA MENGOLAH DATA.
Oleh sebab itu ada ungkapan “HATERS ALWAYS HATE.”
Thinkers lebih sulit dipengaruhi karena Thinkers cenderung memproses input data berdasarkan Logika, dan ketika ada bukti-bukti atau fakta-fakta atau faktor-faktor baru maka akan terjadi renewing information process.
Misal, ada pernyataan “batu yang dilempar ke atas akan jatuh kembali ke bumi”, lalu ada faktor baru “pelemparan batu berlangsung di planet Mars dengan tingkat gravitasi sekian”, maka logikanya “batu yang dilempar ke atas akan jatuh kembali ke planet terdekat (Mars) dipengaruhi gaya gravitasi.” (terjadi proses Logika)
Sedangkan Feelers lebih mudah dipengaruhi oleh perasaan, dan meskipun ada bukti-bukti atau fakta-fakta baru tau faktor-faktor baru maka tidak akan terjadi proses renewing information process karena bukan berdasarkan Logika.
Contoh mudahnya adalah Ketidak mampuan otak berfikir kritis logika ketika sedang marah. Ketika sedang marah maka di-iya-kan saja.. orang marah tidak bisa mencerna logic fakta baru. Justru emosi marah itu akan mencari alasan-alasan lain untuk semakin marah. Begitu pula KEBENCIAN.
MANIPULASI
Apa itu manipulasi?
Manipulasi adalah Sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, penyembunyian, penghilangan, atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta, ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah sistem tata nilai.
Jelas sekali Manipulasi merupakan teknik penuh fikiran dan perencanaan.
Manipulasi adalah Proses Cara.
Manipulasi tidak mengandung sedikitpun nilai Perasaan.
Seorang yang sengaja pura-pura menangis agar lawan bicaranya iba, sebenarnya dia tidak merasa bersedih. Ia tahu dan berfikir dengan menangis, orang lain akan ikut merasakan kesedihan/ kasihan. Seorang pelawak yang lucu tidak merasa bahwa dirinya lucu. Ia hanya berfikir bahwa dengan lawakannya orang lain akan senang, tertawa.
Lalu,
Yang mana di antara kedua tipe tersebut yang lebih mudah dipengaruhi, dimanipulasi, dihasut, dipolitisasi?
Thinkers lebih sulit dimanipulasi karena kecenderungan mereka berfikir secara rasional dan logis. Segala fakta dan faktor akan difikirkan secara logika.
Lain halnya pada Feelers, mereka cenderung mengedepankan emosi. Segala fakta dan faktor diproses secara emosional.
Dan berdasarkan contoh-contoh Manipulasi di atas, terlihat bahwa sasaran MANIPULATOR adalah PERASAAN (EMOSI.)
Apa yang dimanipulasi?
Proses rekayasa dengan melakukan penambahan (Judul yang diheboh-hebohkan), penyembunyian (Edit isi artikel sesuai target), penghilangan (Edit video / rekaman), atau pengkaburan (Mengatasnamakan S-A-R-A tertentu) terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta, ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah sistem tata nilai.
OTAK SULIT DITIPU, TAPI HATI MUDAH TERTIPU.
Pernyataan “PINTER KEBLINGER”
Lebih cocok disematkan pada mereka, Feelers, akibat ketidak mampuan mengoreksi diri, menerima input faktor-faktor / konteks-konteks baru. Biasanya Feelers yang menganut paham “POKOKE!”, “POKOKMEN!”, “ITU YA ITU!”, adalah orang-orang yang PINTER KEBLINGER...
Hal tersebut tercermin dari Narrow mindedness, ketidak terimaan komentar/ gagasan lain selain gagasan berdasarkan pengetahuan & pemahaman mereka sendiri. Kelompok Fanatik, Radikal, dan Dogma yang kuat sering menjadi gambaran umum sosok PINTER TAPI KEBLINGER. Hal ini dikarenakan patokan mereka hanya kepada pemahaman simpel ayat-ayat suci secara tekstual. Segala gagasan non tekstual akan dianggap bertentangan dengan ayat-ayat suci yang mereka pahami, atau dengan kata lain Nista.
Banyak orang beranggapan itu adalah IMAN, namun jika ditelusuri lebih dalam semua itu tidak lebih dari Kebutaan Fikiran (Narrow Mindedness).
Aneh kan???
Yang terjadi dilapangan justru orang-orang Feelers yang menyebut para Thinkers PINTER KEBLINGER...
Itulah mengapa penulis mengatakan
“Banyak Feelers yang (sok) jadi Thinkers, apalagi (sok) membahas politik praktis.”
Perlu dicatat,
Bukan seberapa banyak data ilmu pengetahuan yang seseorang punya,
Melainkan bagaimana cara seseorang tersebut mengolah data,
Dengan Logika? Atau dengan Rasa?
Cara keluar dari semua keabsurdan ini adalah dengan saling mengkoreksi diri, ber-refleksi.
Thinkers and Feelers should not know no border.
Harus menyadari betul ranahnya Logika, dan ranahya Rasa.
Kembali pada pembahasan Thinkers dan Feelers.
Thinkings dan Feelings saling berkecamuk mempengaruhi satu sama lain.
Kecenderungan Thinkers akan memenagkan Thinkings.
Kecenderungan Feelers akan memenangkan Feelings.
Misalkan,
Meskipun sudah memiliki rubrik penilaian kemampuan, seorang guru memberi nilai lebih kepada siswa yang ia rasa baik/ siswa yang guru tersebut senangi.
Orang murung yang membaik keadaannya setelah diminta mengingat dan memikirkan solusi rencana pemecahan masalah yang dihadapi.
Walaupun ada orang yang sangat taat nilai tanpa memperdulikan perasaan, dan ada orang marah yang sama sekali tidak mampu berfikir jernih dalam kondisi perasaan marahnya.
ID, EGO, SUPEREGO sangat erat kaitannya jika kita ingin melihat apakah seseorang itu Thinkers atau Feelers berdasarkan pada niat, proses tindakan, dan hasil pencapaian/ akibat dalam sebuah kasus-peristiwa.
Irfandi berfikir untuk membeli 10 buah permen. Karena merasa iba pada seorang pengemis, akhirnya dia memutuskan memberi sebagian uangnya, & hanya membeli 5 buah permen.
Irfandi yang iba ingin membagikan semua uangnya kepada pengemis. Karena berfikir cara memperoleh permen, akhirnya dia memutuskan untuk membagi sebagian saja, & membeli 5 buah permen.
Seperti dalam kasus
Seorang Koruptor.
Apakah Koruptor itu selalu Thinkers?
Apakah Koruptor itu selalu Feelers?
Seorang guru marah ketika ada satu murid datang terlambat. Si murid meminta maaf karena alasan sungguhan yang sangat mengharukan. Sang guru mempersilahkan masuk sambil tetap menggerutu marah.
Ada aspek nilai dan etika.
Koruptor bisa didorong oleh rasa keinginan, juga oleh kesempatan/ kesanggupan.
Seorang guru juga harus bisa memberikan contoh etika yang baik, etis. Dan se-Etis-nya guru, ketika ada siswa yang terlambat, sudah meminta maaf, juga membawa alasan nyata, maka seharusnya tidak ada lagi penghukuman publik di depan kelas.
Nilai-nilai moral, Niat, Etika, Perilaku ini yang sering Penulis jadi standar patokan Iman.
Niat jadi PNS bersih tanpa pungli, berarti imannya tinggi.
Niat PNS untuk korupsi, imannya sedang anjlog.
Etika berarti bagaimana memperlakukan pihak lain.
Etika yang buruk adalah memperlakukan orang lain sesuai selera sendiri.
Etika yang baik menyesuaikan kondisi kebudayaan pihak-pihak berinteraksi.
SILAHKAN BERKELIT...