= Thinkers vs Feelers, episode 2 =
.
Kamu punya uang Rp.20.000.
ingin membeli 2 jenis makanan.
makanan dengan bentuk, jumlah per-kg, dan harga yang serupa.
Misal : Tempe Keripik & Rempeyek.
.
Bila kamu membagi 1/4 + 3/4 :
"Beli tempe keripik Rp.5.000 & rempeyek Rp.15.000"
.
Penjual akan menakar besaran yang kecil terlebih dulu, yaitu keripik Rp.5000.
(Kecenderungan manusia menghabiskan / mengorbankan yang minor atau inferior terlebih dahulu. Bite what you can chew. Seperti bermain bidak catur, lebih baik Pion dikorbankan lebih dahulu. Accomplishment seolah lebih mudah & cepat tergapai. Sejengkal demi sejengkal menjadi sehasta.)
Penjual kemudian menakar besaran kedua, dengan disesuaikan dengan variabel pertama.
(Kecenderungan manusia menjadikan yang pertama sebagai patokan/standar penilaian. Jadi jangan heran sehebat apapun peserta pertama dalam kontes, cenderung mendapat nilai standar. Jadi jangan heran banyak pemilik akun warisan yang menjadikan akun pertamanya sebagai patokan kebenaran universal.)
Usai menakar kedua makanan, penjual cenderung menakar ulang / mengurangi takaran variabel yang lebih besar setelah melihat takaran yang lebih kecil.
(Kecenderungan manusia, eh, bukan ding. Prinsip ekonomi : pengeluaran sekecilnya, pendapatan sebesarnya. Apalagi didukung oleh kesempatan opportunity yang ada, yaitu patokan / standar pertama tadi. Penjualpun akan cenderung lebih memperhatikan faktor untung-rugi. Tidak heran apabila lupa jumlah rakaat ketika sholat maka dianjurkan untuk dilebihkan. Tidak heran apabila lupa jumlah gorengan yang dimakan di warung, dianjurkan untuk membayar lebih untuk jumlahnya.)
Usai mengurangi takaran yang lebih besar, kemudian penjual entah didorong oleh rasa malu atau rasa takut atau rasa aneh mengganti patokan / standar besar ke kecil tadi menjadi kecil ke besar. Artinya takaran kecil disesuaikan prosentasenya dengan takaran besar. Dikurangilah takaran tempe keripik 5ribu agar = 1/3 rempeyek 15ribu yang sebelumnya telah dikurangi tadi.
(Kecenderungan berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Denial. Kecenderungan manusia merekayasa aturan guna menutupi kekurangan, kesalahan, dosa. You know what? There is a saying "most of Inventions & Innovations were born to earth due to human needs and lackness." "Lebih baik terlambat daripada bolos" bolos = tidak baik, terlambat = tidak baik, dan ajaibnya kata-kata mutiara ini justru muncul pasca terjadi keterlambatan.)
.
.
Namun apabila kamu membagi 1/2 + 1/2 :
"Beli Tempe keripik Rp.10.000 + Rempeyek Rp.10.000."
Pattern kecenderungan penjual boleh jadi berbeda, atau paling tidak kedua takaran makanan tadi sekilas tampak sama.
.
.
Terkait dengan judul.
= Thinkers vs Feelers, episode 2 =
Penggunaan, perubahan, pemakaian kata dan kalimat bukan hanya mampu mengubah arti pemaknaan, namun juga mampu mengubah keseluruhan pola fikir & pattern kecenderungan seseorang.
.
Thinkers memang berpicu pada logika. Logic.
Namun logika 1/4 tempe keripik + 3/4 rempeyek bisa jadi tidak sama timbangannya dengan 1/2 tempe keripik + 1/2 rempeyek.
.
Memahami 1/4 + 3/4 = 1/2 + 1/2 = 1 itu merupakan logika umum matematis.
Seorang anak SD pun bisa apabila sudah faham rumusannya.
.
Memahami pattern-pattern, pola-pola fikir, dan faktor-faktor lain behind every action and occurence justru lebih menguatkan apakah seseorang itu thinker ataukah feeler.
.
Di lain sisi, kecenderungan seorang feeler seringnya tidak demikian. Yang lebih utama bagi mereka adalah persoalan rasa, hasrat, keinginan, enak tidak enak.
.
Berbicara tentang enak tidak enak, perhatikan saja jari telunjuk seseorang ketika sedang memilih menu di restaurant atau cafe.
Ada jari yang naik turun di area daftar nama.
Ada juga jari yang naik turun di sekitar harga.
.
Pada saat menyusun rencana berbuka puasa bersama atau reuni sekolah.
Ada yang mengusulkan menu & lokasi.
Ungkapan "mempertimbangkan rasa" adalah tipuan otak belaka. Rasa adalah keinginan. Patokan & Pertimbangan tiap individu berbeda karena nilai Rasa memang subjective. Maka diperlukan tolak ukur Logika berupa "Harga." Jadi yang sebenarnya dipertimbangkan adalah harga, uang, nominal, biaya, dan serumpunnya..
.
Kesimpulannya ialah tadi : Alat Tolak Ukur.
Timbangan. Sangatlah penting.
Alat pengukur satuan hitung, misalkan.
Kasus pembelian 2 jenis makanan di atas merupakan pengalaman & pengamatan Penulis. Di dekat rumah Penulis terdapat penjual makanan curah tanpa timbangan (sebelum dibawa ke pasar.) Memang lebih murah dan lebih banyak mengingat makanan belum dibungkus, belum dipacked. Namun tetap fenomena di atas telah menyita keingin tahuan Penulis untuk mengamatinya lebih dalam.
.
.
Dan begitulah uraian hasil pengamatan Penulis.
Selamat membaca.
Selamat menikmati karangan Penulis.
:)
Keren artikelnya
BalasHapus